
BRMP dan AFACI Evaluasi Program Pemantauan Hama dan Sistem Informasi Tanah
BALI — Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia bersama Asian Food and Agriculture Cooperation Initiative (AFACI) Korea Selatan menyelenggarakan AFACI Project Evaluation Workshop on PMP+ and SOIL+, yang mempertemukan para delegasi dari 14 negara anggota AFACI untuk mengevaluasi dua proyek regional utama: PMP+ dan SOIL+ pada 22–24 Juli 2025 di Bali.
Kepala BRMP, Fadjry Djufry, dalam sambutannya saat membuka acara, Selasa (22/7) menegaskan pentingnya kolaborasi ini bagi transformasi pertanian di Indonesia dan Asia. “Pertemuan ini bukan sekadar forum teknis, tetapi juga merupakan wadah kolaborasi, inovasi, dan solidaritas regional. Dengan saling belajar dan menyelaraskan tujuan, kita dapat memperkuat inisiatif AFACI dan memperluas manfaatnya di seluruh negara anggota,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fadjry menyampaikan bahwa program ini sejalan dengan prioritas nasional Indonesia dalam memperkuat ketahanan pangan. “Dengan lebih dari 17.000 pulau dan beragam zona agroekologis, Indonesia sangat memerlukan pendekatan berbasis data dalam pengelolaan lahan dan sistem pertanian adaptif,” tambahnya. Menurut Fadjry, pendekatan berbasis data ini selaras dengan tugas dan fungsi BRMP dalam mendorong modernisasi pertanian.
Hal ini sesuai dengan arahan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang menegaskan pentingnya transformasi pertanian dari tradisional menuju modern sebagai salah satu kunci keberhasilan pencapaian target swasembada. “Dengan pertanian modern, produktivitas bisa dua kali lipat dan biaya produksi dapat ditekan,” ungkap Mentan Amran dalam beberapa kesempatan.
Penyelenggaraan workshop ini menjadi langkah penting untuk menghadapi tantangan yang dihadapi oleh negara-negara di Asia, seperti perubahan cuaca yang tidak menentu, kerusakan tanah, serta serangan hama dan penyakit tanaman yang bisa mengganggu hasil panen. Melalui kegiatan ini, para peserta dapat saling berbagi pengalaman, cara kerja yang efektif, dan mempererat kerja sama antar negara dalam bidang pertanian.
Program PMP+ (Asia Regional FAW and BPH Diagnostics and Monitoring and Surveillance Program) merupakan inisiatif bersama dalam menghadapi tantangan besar di sektor pertanian, khususnya dalam pengendalian hama ulat grayak jagung (FAW) dan wereng batang cokelat (BPH). Program ini dirancang untuk menyediakan data real-time mengenai serangan hama melalui sistem pemantauan yang dapat digunakan sebagai dasar peringatan dini dan pengambilan keputusan pengendalian hama secara cepat dan akurat.
Sementara, SOIL+ (National Soil Information Systems to Support the Transformation of Agrifood Systems in AFACI Countries) bertujuan untuk membangun sistem informasi tanah nasional di negara-negara anggota AFACI. Sistem ini memungkinkan pengelolaan data tanah yang berkelanjutan, yang menjadi landasan dalam meningkatkan produktivitas pertanian, efisiensi penggunaan lahan, dan keberlanjutan sistem pangan dan pertanian di kawasan Asia.
Pertemuan ini menjadi sangat penting karena menghadirkan solusi konkret terhadap tantangan nyata di sektor pertanian kawasan Asia. Melalui program PMP+, negara-negara anggota AFACI diperkuat kemampuannya dalam memantau dan merespons serangan hama secara lebih cepat dan berbasis data. Sistem peringatan dini yang dibangun dari program ini berpotensi menyelamatkan hasil panen petani dan menjaga ketahanan pangan di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim.
Adapun pengembangan sistem informasi tanah melalui SOIL+ tidak hanya membantu negara-negara anggota dalam mengelola sumber daya lahannya secara lebih efisien. Dengan adanya data yang akurat dan terintegrasi, pemerintah dapat menyusun kebijakan pertanian yang lebih tepat sasaran, efisien, dan berdaya tahan jangka panjang.
Melalui kedua program ini, masyarakat terutama para petani secara bertahap akan memperoleh manfaat dari tersedianya informasi tanah dan pengelolaan hama yang lebih lengkap dan akurat. Meskipun saat ini data ini lebih banyak digunakan untuk mendukung pengambilan kebijakan nasional, ke depan petani akan diuntungkan karena kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih tepat sasaran. Selain itu, informasi ini dapat menjadi rujukan penting bagi penyuluh dan pemerintah daerah dalam memberikan rekomendasi pengelolaan lahan yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, forum internasional ini juga menjadi ruang strategis bagi para peneliti dan pemangku kepentingan untuk saling berbagi pengetahuan dan teknologi pertanian terapan yang telah teruji di negara masing-masing. Dengan terbukanya akses terhadap inovasi, praktik terbaik, dan pendekatan adaptif yang dibagikan dalam forum ini, transfer ilmu dan teknologi ke tingkat lapangan dapat dipercepat. Dalam jangka panjang, hal ini akan memperkuat kapasitas petani, meningkatkan produktivitas, serta menjawab tantangan perubahan iklim dan ketahanan pangan secara lebih efektif.
Melalui forum ini, negara-negara anggota didorong untuk saling berbagi pengalaman, teknologi, dan inovasi. Pendekatan kolaboratif semacam ini menjadi kunci dalam membangun ketahanan system pangan dan pertanian di kawasan Asia, sekaligus memperkuat posisi Asia dalam menghadapi tantangan global di bidang pertanian dan pangan.
Fadjry juga menyampaikan apresiasi atas kerja keras para mitra teknis dan kolaborator dalam mendukung keberhasilan proyek ini. “Tantangan bersama memerlukan solusi bersama. Mari kita lanjutkan kerja sama ini untuk pertanian yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Program AFACI diinisiasi oleh Rural Development Administration (RDA) Korea Selatan, dan telah berlangsung sejak 2009. Negara yang tergabung dalam program ini melaksanakan berbagai proyek yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan mewujudkan pertanian berkelanjutan. Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian menjadi country chair Indonesia bagi program tersebut.